GANDENKU.COM | Liburan musim
panas telah tiba. Australia dilanda wabah malas malasan karena ingin
liburan. Termasuk beberapa binaan. Mereka mohon liqo diliburkan
saja. Oh...rupanya sudah jadi kebiasaan sebelumnya.
Aku geleng-geleng
kepala. Rupanya liqo alias kajian islam pekanan masih pada dataran 'rekreasi
jiwa' belum jadi kebutuhan. Masih jadi 'cemilan ringan' bukan seperti 'buka
puasa'. Kalau ada bagus, ga ada ga apa-apa. Aku tersenyum. Inilah ladang
dakwah kita.
Dahulu para
sahabat sangat menantikan halaqah dengan Rasulullah SAW. Sehari saja tak
melihat Beliau, tak mendengar suara beliau, tak shalat bersama beliau, hati
mereka mengharu biru rindu. Bahkan Hanzhalah bilang: "Kalau aku
bersamamu, Ya Rasulullah, surga dan neraka tampak di depan mata. Tapi
kalau tak bersamamu aku merasa jadi munafik."
Bahkan banyak di
antara mereka memilih jadi ahli suffah, penghuni emper masjid Rasulullah, agar
tak ada moment yg terlewatkan jika beliau mengisi halaqah.
Di masa kini pun
banyak orang yang bisa dijadikan teladan dalam mementingkan pertemuan ruhiyah
ini. Misalkan murabbi dari Ismail Haniyah perdana menteri
Palestina. Ismail Haniyah yang seorang perdana menteri pernah mendapat
teguran tertulis karena ketidak hadiran beliau pada acara liqo. Kita sangat
yakin dan kita juga bisa membayangkan bagaimana kesibukan seorang perdana
menteri. Menjadi perdana menteri di Negara yang aman saja sudah sangat repot,
apalagi menjadi perdana menteri di negara yang sedang perang, sudah pasti
sangat sulit dan sangat sibuk.
Syaikh Kholid
Misy’al yang juga adalah petinggi HAMAS juga patut dicontoh. Jika karena
kesibukannya beliau terpaksa tidak hadir pada liqo maka beliau menggantinya
dengan mengundang ulama untuk memberinya nasihat dan mengundang seorang hafiz
qur’an untuk memurojaah hafalan beliau sebagai pengganti ketidak hadirannya di
acara liqo.
Ust.Hilmi
Aminuddin juga merupakan cerminan pribadi yang sangat mementingkan tarbiyah
untuk dirinya. Ust. Hilmi selalu berusaha untuk hadir liqo, tidak pernah tidak
hadir liqo kecuali ketika beliau ke luar negeri atau ada urusan yang sangat
penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ketika beliau sakit beliaupun tetap
datang ke halaqah walau harus mengenakan syal, atau kalau beliau sedang sakit
beliau meminta agar liqo dipindahkan ke rumah beliau.
Ada kisah dari
seorang ustadz yang pernah mengobrol dengan salah satu utusan HAMAS yang sedang
berkunjung ke Indonesia. Beliau bertanya kepada utusan tersebut: " Syaikh,
alasan apa yang membolehkan ikhwah HAMAS tidak hadir liqo?",
Utusan tersebut
menjawab: "Cuma dua alasan: yang pertama adalah mati dan yang kedua sedang
pergi berjihad". Subhanallah.
Ikhwah fillah,
dari gambaran tersebut mengertilah kita mengapa ikhwah Hamas dapat bertahan
dalam situasi yang sangat sulit dan bahkan mereka memenangkan pemilu, salah
satunya adalah karena disiplin dan semangat yang sangat luar biasa dalam
menghadiri liqo.
Ada juga kisah
orang biasa, seorang bapak, penjual bubur ayam di daerah trans. Untuk bisa
datang ke liqo pekanan, dia harus meliburkan diri 3 hari dari menjual buburnya
karena jarak tempat mengaji yang cukup jauh dari rumahnya, di kota. Karena
kondisi ekonominya yang pas-pasan, dia sering kesulitan ongkos. Hingga ia
memilih naik sepeda tuanya, seharian. Ya, seharian! Menuju tempat kajian. Nasib
mujur kalau ada truk besar yang mau ditumpangi. Maka ia dan sepedanya bisa
menumpang barang sebentar, mempersingkat jarak dan menghemat tenaga. Tetapi itu
jarang sekali.
Hari kedua, ia
gunakan untuk mengaji di kota. Sekaligus menghadiri berbagai kajian lain yang
memungkinkan, mumpung ke kota.
Lalu hari
ketiganya, ia kayuh lagi sepeda tuanya seharian, pulang ke rumah. Dan itu
terjadi sepekan sekali. Dia rela hanya bekerja 4 hari dalam seminggu, demi
kajian pekanan yang tak ingin ia cederai.
Ada juga seorang
ibu rumah tangga, tinggal di ibukota, yang sulit hadir liqo, karena tak ada
ongkos dan suaminya lama belum pulang dari ikhtiar mencari nafkah, dia terpaksa
menjual beberapa peralatan dapurnya ke tukang rombeng. Tak ada yang mengetahui
hal ini, kalau saja tak secara kebetulan ada teman satu kajian yang sedang
berkunjung ke rumahnya, dan melihat transaksi jual beli itu. Yang lalu dia
ceritakan pada guru ngajinya, dan disambut rasa trenyuh oleh sang guru.
Lalu ada lagi,
seorang ibu rumah tangga, sebut saja Arni, masih di ibu kota, saat harus hadir
dalam kajian pekanan, dengan malu-malu dia sms pada guru ngajinya,
"Bu, maaf
boleh tidak nanti siang saya ijin tidak datang? Saya tak punya ongkos untuk
pulang balik ngaji ke tempat ibu. Suami juga belum pulang jadi saya gak bisa
minta ongkos".
Trenyuh hati sang
murabbiyah membaca sms itu. Menitik perlahan air matanya, diketiknya balasan
via sms,
"Bu, ibu
masih punya ongkos untuk sekali jalan ke sini? Kalau ada, silahkan datang,
Semoga Allah mudahkan".
Tak ada lagi
balasan dari bu Arni. Sang murabbiyah segera beranjak untuk menyiapkan
sedikit bingkisan untuk anak-anak bu Arni, juga menyelipkan selembar uang biru
bergambar ke dalam amplop, sekedar pengganti ongkos untuk binaannya. Sambil
tetap berharap, bu Arni akan datang.
Lalu, saat siang
tiba, dengan berdebar, murabbiyah menunggu kedatangan Bu Arni. Apakah ia akan
datang?
Subhanallah. .
ternyata bu Arni datang, tampak kerepotan membawa serta 3 anaknya yang masih
kecil-kecil. Sang guru mengelus dada, berlega hati, dan sembunyi-sembunyi
menitikkan air mata.
Saat kajian usai,
dia serahkan bingkisan dan amplop itu pada bu Arni, yang disambut dengan wajah
terperangah campur malu, " Haduuh, gak usah ibu, Kok jadi repot
begini?"
"Ini rizqun
minal-Lah, tidak baik kalau ditolak bu. Kalau ibu tidak berkenan, mungkin anak2
tetap membutuhkan," kata murabbiyah.
Dan berangsur, Bu
Arni menerima bingkisan dan amplop itu, sambil memeluk gurunya, hangat.
Aku ingat dahulu
pernah mengunjungi sebuah desa di puncak bukit yang tinggi di Kulon Progo. Di
sana kami mengadakan bakti sosial. Ada seorang bidan desa yang membantu acara
kami. Beliau mengaku masih rutin ikut liqo di Yogyakarta. Di kota. Aku
bertanya, bagaimana caranya liqo ke sana? Sementara kami saja sulit mencapai
desanya. Naik mobil pribadi lalu jalan kaki 30 menit ( dan aku pingsan dalam
perjalanan pulang, saat mendaki bukit menuju tempat mobil kami diparkir).
Sang bidan desa
bercerita. Bersama anaknya masih dalam gendongan, ia harus jalan mendaki dan menuruni
bukit selama 30 menit, (kalau tidak hujan, kalau hujan bisa lebih lama). Lalu
naik angkot ke Wates, pusat kabupaten Kulon Progo. Lalu naik bus antar kota ke
Jogja, lalu naik bus kota ke rumah murabbinya. Perlu waktu 3 jam perjalanan.
Beliau liqo selama 3 jam, lalu pulang hari itu juga, sampai di rumah sudah
malam hari jam 21.00. Subhanallah, beliau jarang sekali absen liqo.
Aku merenungi
betapa kini aku banyak dimudahkan untuk pergi liqo. Dulu mudah karena punya
sepeda motor. Lalu mudah karena punya mobil sendiri. Setelah mobil dijual aku
punya mobil pribadi tapi milik umum (bis kota). Lalu di Ausy malah ada kereta
(api). Betapa mudahnya! Ga pake lama, dan selalu tersedia. Asal ada kemauan.
Dan itulah hal yang mahal.
Mudah-mudahan kita
dianugrahi keistiqamahan seperti para sahabat Rasulullah SAW dan orang-orang
yang mengikuti jejak mereka. Biar berjumpa dengan mereka di surga.
Kan...hobbynya sama....Amiin....
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih telah bersilaturahim di blog kami...