GANDENKU.COM | OpiniTokoh - Sejak
enam tahun lalu, 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2015. Tema peringatan tahun ini
adalah “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia.”
Tahun-tahun
sebelumnya, tema bersifat domestik tentang kontribusi dan kemandirian santri serta
kedamaian negeri. Tema perdamaian dunia sangat relevan karena kita masih menyaksikan
krisis kemanusiaan akibat perang di berbagai belahan bumi.
Konflik
bersenjata di Suriah sejak 2011 menelan korban sedikitnya 500 ribu orang dan 12
juta penduduknya mengungsi. Krisis Suriah kemudian memunculkan konflik lain di
perbatasan yang melibatkan Turki, etnik Kurdi, Rusia, Amerika Serikat, dan
milisi bersenjata, termasuk ISIS.
Krisis
keamanan juga masih berlangsung di Yaman, Afghanistan, Sudan, wilayah selatan
Arab Saudi. Selain itu, yang tak bisa diabaikan adalah konflik lebih dari
separuh abad akibat penjajahan Israel atas Palestina.
Pada
berbagai konflik itu terselip pertarungan kepentingan antarnegara adidaya. Umat
Islam hanya menjadi korban. Lalu, mungkinkah kaum santri sebagai bagian dari
umat terpelajar mampu mengartikulasikan perdamaian dunia?
Tentu
saja kita perlu tawadhu dan introspeksi, peran santri di dalam negeri lebih diprioritaskan
karena Indonesia juga masih menghadapi tantangan dalam berbagai bidang. Salah
satu tantangan berat saat ini adalah merawat integrasi agar tak tereduksi sukuisme
atau rasialisme.
Konflik
komunal di Papua dan Papua Barat, khususnya tragedi kemanusiaan di Wamena,
Sorong, Manokwari, dan Jayapura, merupakan alarm bahwa banyak pekerjaan rumah
yang harus dibereskan guna menata ulang hubungan antar suku,
agama, dan golongan.
Konflik
terkini terjadi di daerah calon ibu kota, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan
Timur, antara warga Dayak dan pendatang. Santri tentu tidak bisa menghentikan
kekerasan fisik karena itu tugas aparat keamanan dan kepolisian.
Sebagaimana
santri Indonesia tidak harus berlatih kemiliteran agar siap dikirim menjadi pasukan
perdamaian dunia karena itu menjadi tugas TNI. Peran santri adalah membangun kesadaran
bahwa betapa bangsa Indonesia sejak awal eksistensinya bersifat majemuk.
Pondok
pesantren adalah miniatur Indonesia sebab santri dari seluruh pelosok nusantara
berkumpul untuk menuntut ilmu. Bahkan, warga non-Islam bisa datang ke pesantren
untuk belajar ilmu bahasa, falsafah, pertanian, atau keahlian lain.
Dalam
konteks perdamaian dunia, santri dapat menanamkan dan menyebarluaskan nilai
universal Islam yang sejalan dengan nilai kemanusiaan. Ada tiga sikap dan nilai
dasar yang dapat dipromosikan.
Pertama,
sikap moderasi Islam. Santri adalah duta umat Islam yang harus memiliki konsep
berpikir dan bertindak moderat. Kedua,
nilai yang patut diperjuangkan untuk perdamaian dunia adalah tasamuh, berjiwa
terbuka dan berlapang dada atas perbedaan.
Saat
ini kebutuhan kita terhadap sikap toleran melebihi kebutuhan pada masa lalu.
Kini kita menghadapi ancaman perpecahan, saling benci, dan konfrontasi. Kita
perlu mengembangkan nasionalisme berlandaskan kemanusiaan, tak terperangkap chauvinisme.
Nilai
Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW ditujukan bagi seluruh umat manusia. Tidak
perlu alergi dengan dakwah bersifat transnasional karena itu justru menandai
watak kosmopolitan Islam yang sering diungkap Bung Karno dan Bung Hatta.
Namun, kita
mengakui interaksi dan informasi global mungkin menimbulkan efek samping berupa
ancaman satu bangsa atas bangsa lain, antarsatu agama dengan agama lain, antar sesama
anak bangsa, dan antar sesama pemeluk agama yang sama.
Jika
diteliti lebih jauh, sumber ancaman itu adalah sikap ta’ashub atau
fanatisme. Fanatisme yang menjadi sumber perpecahan bukanlah rasa bangga
seseorang dengan akidah yang dipegangnya. Keyakinan itu baik dan tak bisa
dianggap negatif. Namun, maksud fanatisme yang buruk adalah sikap
ketertutupan seseorang dengan keyakinan dan pemikirannya serta menganggap orang
lain seluruhnya yang berbeda dengannya adalah musuh, lalu berusaha mencelakakan
mereka.
Itu fanatisme
yang mengganggu kedamaian dan ketenteraman sosial. Islam memiliki cara mengatasinya.
Para santri yang belajar syariah dan peradaban Islam tentu memahami tasamuh yang
menolak ta’ashub (fanatisme),
mendorong ta’aaruf (saling mengenal),
dan menghalangi sikap tanaakur
(saling menolak).
Ketiga,
al-i`tilaf yang berarti harmoni atau keserasian, yakni keselarasan antara
keyakinan dan tingkah laku, menghormati, menyayangi apa yang ada, merangkum,
serta menyinergikan segala bentuk perbedaan secara ikhlas dan alamiah.
Dengan harmoni,
tercipta tatanan kehidupan yang indah dan teratur. Harmoni bukan keterpaksaan.
Ada sistem dan aturan yang menjadi kesepakatan bersama, dimulai dari diri
sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, tatanan internasional, bahkan alam semesta.
Peran
santri dan urgensi nilai keislaman dalam format kebangsaan tak perlu diragukan
lagi karena pada 22 Oktober 1945 para ulama di bawah pimpinan Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari merespons pertanyaan Presiden Sukarno tentang apa
hukumnya mempertahankan kemerdekaan RI melawan penjajah?
Para
ulama mengeluarkan Resolusi Jihad untuk membakar semangat seluruh lapisan
masyarakat, termasuk santri, agar bergabung dalam laskar-laskar perjuangan. Resolusi
Jihad itu dikukuhkan dalam Kongres Umat Islam Indonesia I (7-8 November 1945)
di Yogyakarta dan akhirnya menyulut perjuangan rakyat bersama kaum santri dalam
Perang Surabaya (10 November 1945).
Islam memerangi
penjajahan dan penindasan manusia atas manusia lain. Islam mengajarkan
persatuan dan melarang peperangan dan permusuhan. Islam melawan kemiskinan agar
terwujud kesejahteraan, menghentikan kezaliman demi terciptanya keadilan.
Perselisihan
yang terjadi di negeri ini dan belahan dunia lain mungkin berlatar belakang pemikiran,
kesukuan, perbedaan kepentingan, dan lainnya. Namun, sesungguhnya perselisihan
itu berpangkal dari kondisi hati yang sakit; hati yang tersandera penyakit iri,
dengki, ujub, arogansi, dan niat buruk lainnya. Hati yang sakit itu memengaruhi
cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencelakakan dan menghancurkan pihak
lain.
Karena
itu, misi perdamaian kaum santri yang menurut data Kementerian Agama saat ini
berjumlah 3.642.738 orang tersebar di 27.218 pesantren harus dimulai dengan
pembersihan hati dan penjernihan pikiran. Diplomasi global perlu dikembangkan
dengan hati tulus dan pikiran terbuka. Selamat meresapi Hari Santri Nasional.
Oleh : DR.H.M Hidayat Nur Wahid, MA
(Wakil Ketua Badan Wakaf Pesantren Darussalam,
Gontor)
Sumber : Republika, 21 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih telah bersilaturahim di blog kami...