Gesekan antar individu maupun kelompok dan lembaga sering kali kita
saksikan, persoalan terkadang yang bersifat sepele. Namun apakah benar
masalah yang sepele, remeh temeh dan sangat sederhana tersebut berakibat
terjadinya gesekan ? Sebenarnya kalu kita melihat lebih jauh belum
tentu masalah tersebut sangat sepele namun bisa jadi diri kita yang
'kurang tepat' dalam memahami masalah tersebut.
Lalu bagaimana agar setiap gesekan yang kerap muncul karena
kesalahfahaman tersebut dapat diredam dan tidak muncul kepermukaan ?
tidak mudah memang namun tidak mungkin untuk dapat dilakukan.
Permasalahan yang paling mendasarnya karena kita senantiasa berharap
untuk dipahami namun tidak mau memahaminya. Saling memahami dalam
kebaikan yang tidak bertentangan dengan hukum agama dan negara
seharusnya dapat dilakukan kecuali saling memahami dalam keburukan.
Saling memahami dalam keburukan yang sangat tidak layak dilakukan
misalnya saja, seorang koruptor yang sudah 'ngemplang' uang negara
karena perilaku dan perbuatannya sudah banyak rakyat jadi korban, dan
ketika tertangkap oleh pihak yang berwenang lalu secara melankolis ia
mengungkap sisi kemanusiaannya misalnya saja keluarga dan anak-anaknya
yang sering kali dijadikan alasan, 'siapa keluarga yang urus' 'bagaimana
nasib anak-anak saya' seperti itulah kalimat yang sering muncul dari
kalangan koruptor ketika sudah tertangkap padahal ketika mereka
melakukan perilaku yang buruk tersebut dengan enteng dan mudahnya dan
bahkan tidak memikirkan bagaimana nasib masyarakat yang lain dengan
perilakunya.
Ketidak pantasan yang dilakukan dalam memahami keburukan lainnya adalah,
misalnya saja dalam sebuah kelompok pemuda yang terbiasa 'minum-minuman
keras' bahkan tidak jarang menggunakan obat-obatan terlarang (NARKOBA)
kerapkali para pemuda tersebut berdalih untuk menghilangkan kegundahan,
menghilangkan kepenatan atau istilah lebih 'konyolnya' lagi adalah
mumpung masih muda, pertanyaannya memang kenapa kalau masih muda ?
apakah memang kalau sudah tua akan bertaubat ? seolah-olah yakin bahwa
usianya akan sampai tua, sehingga waktu taubat hanya dapat dilakukan
setelah tua nanti, padahal tidak ada yang bisa menjamin diri kita bahwa
besok, lusa atau waktu yang akan datang kita masih hidup.
Memahami seseorangpun yang seringkali tidak tepat adalah memahami orang
perokok ditempat umum, dengan gampang dan entengnya perokok di sebuah
bis umum bilang 'kalau gak mau isep asap rokok naik mobil sendiri'
seolah-olah kalimat tersebut benar, bahkan ada dengan entengnya seorang
perokok bilang 'ini kan hak azazi saya' . Perokok tersebut tidak sadar
bahwa ia telah melanggar hak azazi orang lain yang tidak merokok,
padahal hak azazi hanya dapat dilakukan dengan tidak melanggar hak-hak
orang lain dan hak-hak masyarakat.
Dari ketiga gambaran di atas tersebut, seringkali menyebabkan gesekan
yang serius. Hal ini karena pihak-pihak tersebut hanya mau dipahami tapi
tidak memahami pihak lainnya. Padahal keselarasan hidup itu akan hadir
jika saling memahami, bukan hanya sekedar minta dipahami. Untuk itu
semoga kita menjadi makhluk yang bisa saling memahami bukan hanya minta
dipahami, karena kalau kita hanya minta dipahami orang lain sementara
kita tidak pernah memahami pihak lain ini akan melahirkan ego pribadi.
Semoga...