Jika mengajak umat aktif memberi kontribusi kepada negeri dengan cermat menggunakan hak suara dan memilih cerdas di Pemilu, dituduh jualan agama. Lalu fungsi agama untuk apa? Apakah hanya cukup Yasinan dan Shalawatan atau celana cangkring dan janggut panjang atau mengibarkan bendera Laa Ilaaha Illallah saja?
Jika mengajak umat aktif berniaga lalu dituduh memperjualbelikan agama. Lalu agama fungsinya untuk apa? Apakah cukup sholeh di segiempat sajadah saja atau cukup dengan menghitamkan kening atau sekedar bersiwak?
Jika mengajak umat untuk sadar dan bangkit melawan penindasan kaum minoritas melalui budaya-ekonomi-sosial-politik- dianggap provokator dan teror atas nama agama. Lalu fungsi ajaran agama sebagai amar makruf nahyi munkar dibuang kemana?
Sebagai umat Islam di Indonesia, kita terus menerus dininabobokan dengan jurus-jurus mabuk. Saat mabuk itulah kita tak peduli saat masjid dihancurkan, nyawa muslim dibunuhi, parlemen-presiden-birokrasi dikuasai Noni, semua segmen bisnis dikuasai minoritas. Kita bangga hanya menjadi Satpam atau juru parkir di tempat-tempat yang seharusnya kita yang mengelola dan memakmurkan.
Lalu relakah agama yang tersisa dari diri kita hanya berupa kain sarung-baju koko-peci. Tanpa sadar semuanya bukan made in Muslim tapi made in Non Muslim. Bahkan relakah kita jika Al-Qur'an kitab suci yang kita baca tiap hari adalah AlQur'an yang dicetak bukan oleh perusahaan Muslim?
Mengapa kalau seorang Kiai-Ustadz-Ulama melarang Golput disebut jualan agama? Tapi mengapa Pendeta di Gereja melarang pemeluknya Golput disebut perjuangan suci?
Kalau membenci parpol Islam, bencilah sesuka hati. Golputlah seramai mungkin. Jadilah penonton aktif, saat kita tak lagi memiliki daya, kita akan menjadi mayat-mayat bergelimang darah. Toch pada saat ini kita sudah menjadi mayat hidup, karena darah perjuangan kita sudah mengering!. Sumber : Copas dari BB ibu Maria Ulfa.