GANDENKU.COM | Oleh : Zeng Wei Jian - Hari ini, intifada cyber armies sukses menghancurkan aksi
manipulatif Ahokers di urusan soal taman. Wagub Djarot jadi korban Ahoker's
failed game. Dia dibully. Ironis ya.
"Entah siapa" menyiapkan skenario distraksi
dan mendeskreditkan gerakan umat Islam.
Sepetak taman dimanipulasi. Tiga jenis tanaman (costus, sabangdara, ararea)
dikorbankan.
Pasca aksi tangkap penista agama, FPI difitnah sebagai
perusak taman. Padahal taman itu sudah dirusak sebelum balai kota dipadati
demonstrans.
Sabtu 15/10, media Ahok gencar merilis tema "taman
rusak". Minggu pagi, Wagub Djarot bersama rombongan kecil Ahoker
berteatrikal bikin beres taman itu. Sejumlah media dan stasiun tivi (macam
metrotivi) ikut. Spanduk bertulis "gotong royong" dipasang. Sejumlah
perempuan Ahoker berhijab ditampilkan. Agar tercipta kesan Ahok didukung
muslimah.
Selama tiga jam, hantu-hantu cyber menggoreng isue ini di
sosmed. Sampai seseorang menampilkan foto dan kronologi peristiwa fakta yang
sebenarnya terjadi.
Rupanya, dinas "tertentu" telah merapikan taman
itu. Sepetak area disisakan sebagai panggung teatrikal Djarot dan Ahoker. Hanya
sepetak, tapi bisa jadi "berita heboh" di tangan Metrotivi dan
buzzer. Itulah media Ahok.
Siang sampai malam, para Ahoker manipulator bungkam. Aksi Hoax Djarot cs ketauan.
Saya cuma bisa bilang: kasian.
Mungkin Djarot terinspirasi gerakan Martin Luther King Jr on
"Civil Rights March to Washington" yang sukses mengubah pandangan
rasial Amerika. Mungkin lagi, via aktivisme beresin sepetak taman, Djarot
bermaksud hendak mendemonisasi FPI dan ormas Islam yang kemarin berdemonstrasi damai
menuntut Ahok ditangkap.
Djarot and his gank memilih metode "manipulasi"
klasik-modern, gunakan media lancarkan distraksi (soal penistaan ayat Al Maidah),
terapkan strategi "aktivisme" to change social views. Aktivisme itu
berupa "beresin sepetak taman", sebagai ganti orasi penistaan Alquran
di Pulau Seribu.
Sayangnya, Djarot dan Ahoker lupa bahwa sekarang abad sosial
media. Rezim diktator media mainstream tidak mampu lagi mengatur dan
memanipulasi berita.
Akibat kegagalan total ini, Djarot dan Ahoker jatuh
terjerembab menjadi "manipulator". Karena memilih strategi
manipulasi.
Di American Philosophical Quarterly, Patricia Greenspan
menulis, "Indeed, manipulation is the often recommended as a strategy
particularly for women, or simply is treated as characteristic of women".
Nah jadi janggal bila seorang politisi pria seperti Djarot
gunakan strategi manipulasi itu. Atau jangan-jangan ..... only God knows.
THE END