GANDENKU.COM | Oleh : Prof. Mahfudz MD - "Peristiwa Bukit Duri adalah tragedi kemanusiaan dan tragedi penegakan hukum. Pengadilan sudah jelas memerintahkan status quo Bukit Duri selama perkara masih berlangsung, tetapi penggusuran tetap dilakukan. Konstitusi kita menganut paham negara kesejahteraan (welfare state) dengan penekanan bahwa rakyat harus dilindungi dan diberdayakan agar bisa sejahtera di tanah air sendiri.
Hal itu tertera tegas dan terurai di dalam UUD RI 1945. Untuk menjamin upaya pembangunan kesejahteraan rakyat, penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus dikawal oleh supremasi hukum. Itulah sebabnya di dalam konstitusi diletakkan juga prinsip nomokrasi (negara hukum) sebagai pengawal demokrasi. Kita memiliki lembaga yudikatif untuk menyelesaikan sengketa yang putusan-putusannya harus diikuti rakyat maupun pemerintah.
Atas undangan sahabat saya, Jaya Suprana dan Romo Sandyawan, saya pernah berkunjung menemui rakyat Bukit Duri. Kepada mereka saya menyarankan ”tidak usah melakukan tindak kekerasan atau aksi-aksi massa”, tetapi ajukan saja ke pengadilan agar diputus oleh hakim.
Setelah mereka menang dan ada larangan penggusuran, tetapi pemprov masih terus menggusur, saya pun meminta mereka tidak melakukan aksiaksi frontal. Saya sarankan mereka minta penyelesaian politik ”agar hukum ditaati” melalui Menko Polhukam, DPR, Menkumham, dan Komnas HAM. Sekarang mereka sudah digusur dan saya mati ide, tak punya saran lagi karena rakyat kita tidak berdaya.
Kepada Jaya Suprana saya hanya bisa mengatakan, saya ngeri jika putusan pengadilan terang-terangan dilanggar. Putusan pengadilan itu, seumpama pun salah (apalagi tidak salah), tetap wajib ditaati demi penyelesaian masalah. Kesalahan hakim dalam memutus, kalau itu ada, bisa ditindak tersendiri, tetapi putusannya tetap harus ditaati. Saya ngeri kalau hukum dikangkangi oleh kekuatan politik.
Jika suatu saat terjadi pergeseran konfigurasi politik, hukum akan ditentukan oleh aktor lain yang dominan sehingga yang terjadi adalah adu kuat antarmereka yang sama-sama ingin mengangkangi hukum. Yang bisa terjadi adalah kekacauan hukum, bukan ketertiban hukum. Lebih ngeri lagi jika di daerah-daerah lain pihak yang kuat mengangkangi hukum dan mengabaikan putusan-putusan pengadilan.
Alasannya ”kalau di DKI bisa, di daerah pun bisa”. Kalau praktik saling melanggar hukum sudah meluas padahal konfigurasi antara pusat dan daerah dan antardaerah sendiri tidak monolitik, yang terjadi adalah kekacauan yang sangat mengerikan.
Semua bisa membuat hukum sendiri-sendiri dan dengan kekuatan politik dan uang sendiri-sendiri.
Sungguh mengerikan kalau ini terjadi. Mudah-mudahan Bukit Duri tidak menjadi duri bagi masa depan pembangunan bangsa dan negara tercinta: Indonesia." **