|
Foto : Ilustrasi |
GANDENKU.COM | Ngopi Pagi (17/08/19) - Makna kemerdekaan dalam Islam bukan sekedar bebas dari penjajahan namun
makna kemerdekaan didalam Islam itu maknanya jauh lebih luas, bukan sekedar
kemerdekaan secara fisik belaka. Bukan sekedar kebebasan dari kaum Imperialisme
belaka dan para kaum penjajah semata.
Untuk memahami makna kemerdekaan dalam Islam dapat
kita lihat dari sebuah ungkapan dari Sahabat Rasulullah SAW bernama Rib’I bin
Amir, sahabat yang ikut dalam perang Qidsiah di masa Kekhalifahan Umar bin
Khattab. Perang Qidsiah merupakan perang dalam rangka membebaskan Persia.
Persia sendiri saat itu merupakan sebuah negara yang kuat karena memiliki
kekuatan militernya.
Dalam perang Qadisiah ini dalam sebuah peperangan
terjadi dialog antara Rib’I bin Amir
yang menjadi utusan ummat Islam dengan Rustum di Istananya sebagai pemimpin
Persia kala itu. Sebutlah Rustum ini sebagai panglima Persia. Rib’i bin Amir
datang ke Persia sebagai pihak yang di undang oleh Persia hal ini dimaksudkan
semacam bentuk tawaran namun dalam perjalanannya memiliki tujuan untuk
melecehkan kaum Muslimin dengan memperlihatkan kekuatan.
Akan tetapi Rustum yang awalnya hendak melecehkan kaum
Muslimin dengan cara memasang galah saat memasuki ruang Istana dengan tujuan
agar siapapun yang masuk ia akan serta merta merunduk, hal ini dimaksudkan oleh
Rustum agar utusan kaum Muslimin tersebut tunduk padanya. Karena dengan dipasangnya galah tersebut
orang akhirnya tidak lagi bisa jalan dengan berdiri saat melintasinya,
melainkan ia harus merunduknya, agar terdapat kesan orang yang melintas
tersebut menunduk pada Rustum.
Namun diluar dugaan panglima Rustum, ternyata Rib’I
bin Amir datang menunggangi Kuda dengan membawa tongkat yang menunjukan bahwa
Rib’I bin Amir adalah bagian dari Pasukan Elit dari Sahabat Rasulullah SAW.
Meskipun berkuda, tetapi Rustum tetap sangat berharap agar Rib’I bin Amir turun
dari kudanya lalu berjalan sesuai dengan rencana yang diinginkan oleh Rustum
dengan cara berjalan merunduk dihadapan Rustum.
Tetapi strategi yang sudah di siapkan Rustum tersebut
ternyata telah dibaca oleh Rib’I bin Amir, untuk itulah saat melewati galah
yang dipasang Rustum sebagai perangkap tersebut. Rib’I bin Amir pun benar
berjalan merunduk hanya saja merunduknya berbeda dengan keinginan Rustum.
Justru Rib’I bin Amir berjalan dengan cara berbalik, yang artinya bokongnya
terlebih dahulu. Hal ini menimbulkan kesan bahwa Rib’I bin Amir seolah sedang
membelakangi Rustum.
Bahkan Rib’I bin Amir dalam proses berjalan mundur
yang merunduk dengan tidak turun dari kudanya sambil ia menancapkan tombaknya
di atas permadani Persia yang sangat terkenal, dan Rib’I masuk dengan bokong
terlebih dahulu seperti orang yang
sedang membelakanginya. Jadi saat apa yang diinginkan oleh Rustum itu tidak
terjadi.
Kisah di atas menunjukan sebagai bentuk Kemerdekaan
yang diperlihatkan oleh Rib’I bin Amir. Kemerdekaan yang diperlihatkan Rib’I
bin Amir menunjukan bahwa sebagai seorang Muslim tidak akan tunduk kecuali
hanya akan tunduk kepada Allah Ta’ala semata. Hal ini menunjukan bahwa seorang
muslim tidak boleh dikuasai oleh dunia, sekalipun permadani yang dihamparkan
tersebut sangat Indah untuk dipandang dengan harga yang mahal. Namun Rib’I bin
Amir tidak terpesona olehnya. Seorang muslim yang merdeka harusnya memandang
dunia ini hanyalah bersifat sementara belaka.
Singkat cerita terjadilah dialog antara Rustum dan
Rib’I bin Amir, di antara dialog-dialog tersebut terdapat beberapa ungkapan
Rustum yang bertujuan merendahkan dan menjatuhkan mentalitas dari Rib’I bin
Amir. Beberapa hal yang diungkapkan Rustum dalam merendahkannya misalnya saja
menyebut bangsa Arab sebagai bangsa yang hidupnya tidak jelas dan tidak punya
tempat tinggal atau istilah lainnya sebagai hidup sebagai No Maden. Bahkan
salah ungkapan merendahkan lainnya menyatakan sebagai bangsa tawanan.
Namun begitu Rustum tetap penasaran apa motivasi yang
dimiliki oleh pasukan Islam sehingga
berani menantang pasukan Persia yang terkenal sangat kuat dikala itu. Rasa
penasaran Rustum diwujudkan dengan cara bertanya kepada Rib’I bin Amir tentang
motivasinya tersebut. Mendengar pertanyaan yang disampaikan oleh Rustum, Rib’I
bin Amirpun menjawab tentang misi dari pasukan Islam.
Jawaban Rib’I bin Amir terkenal dalam ungkapan yang
disampaikannya “Kami tidak suka duduk di atas perhiasan kalian ini!” Maka
mulailah Rustum berbicara dengan Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Rustum
bertanya, “Apa yang kamu bawa?” Rib’i menjawab:
“Sesungguhnya
Allah mengirim kami untuk mengeluarkan hamba dari penyembahan kepada hamba
menuju penyembahan kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya,
dan dari kezaliman berbagai agama kepada keadilan Islam. Dia mengirim kami
membawa agamanya untuk kami ajak manusia kepada-Nya. Barang siapa yang
menerimanya, maka kami akan kembali; membiarkan dirinya dan negerinya untuk
diatur olehnya; bukan oleh kami. Tetapi barang siapa yang menolaknya, maka kami
akan memeranginya selama-lamanya sampai kami memperoleh janji Allah.”
Setidaknya tiga
pesan yang disampaikan Rib’I bin Amir yang terkenal tersebut dapat dimaknai
seuah makna kemerdekaan dalam Islam, secara lebih jelas ketiga pesan yang
dimaksud adalah :
1. Membebaskan manusia
dari segala bentuk penghambaan sesama manusia dan agar manusia agar
menghambakan diri kepada Tuhannya.
Jadi hakikat kemerdekaan itu adalah ketika kita bisa mengaktualisasikan
pengabdian kita, ibadah kita kepada Allah SWT dengan utuh dan sempurna. Itulah
makna kemerdekaan yang sesungguhnya, jadi ketika kita ingin beribadah kepada
Allah itu kita bebas melaksanakan ibadah itu tanpa ada pemaksaan, tanpa ada
hambatan, rintangan dan lain sebagainya. Termasuk ibadah kepada Allah SWT dalam
menegakan syariat-Nya. Kalau dalam menegakan syariat-Nya kita tidak memiliki
kekhawatiran dan tidak mendapat ancaman berbagai
bentuk kepada kita melalui penangkapan, penahanan dan lain sebagainya dan kita
merasa tidak takut di ancam maka
disitulah makna kemerdekaan yang sebenarnya.
Kemerdekaan hakiki adalah ketika kita mampu melaksanakan penghambaan
diri kepada Allah SWT secara utuh, secara sempurna termasuk juga beribadah
dalam melaksanakan syariat-syariatNya
dan aturan-aturan Allah SWT. Selama kita masih merasa takut dan terancam untuk
melaksanakan syariat Allah sebagai
bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT
maka pada hakikatnya kita belum merdeka.
Untuk itulah kita harus memerdekakan diri kita, artinya kita harus terus
berjuang sampai dimana kita bisa mengaktualisasikan diri kita secara bebas dan
leluasa dalam beribadah kepada Allah SWT. Tidak ada perasaan takut dan tidak
ada perasaan terancam. Selama hal ini belum kita dapati maka kita belum dapat
dikatakan sebagai orang yang sudah merdeka atau sebagai bangsa yang sudah
merdeka.
2. Membebaskan manusia dari sempitnya kehidupan duniawi menuju
lapangnya kehidupan dunia.
Artinya ketika manusia masih
memiliki orientasi pada dunia dan dunia menguasai dirinya serta menjadikan
dunia sebagai orientasinya dan segalanya
maka sesungguhnya di belum merdeka, dia berada dalam penjajahan dunia,
dia berada dalam kekuasaan dunia. Oleh karena itu Khalifah Abu Bakar dalam
doanya mengatakan “Ya Allah jadikanlah dunia dalam genggaman dan jangan kau
jadikan dunia dalam hatiku”. Orang yang menjadikan dunia dalam hatinya itu
adalah orang yang sedang terjajah dengan dunia. Contohnya adalah orang yang
mengabaikan kewajiban shalat karena pertimbangan sebuah pekerjaan maka orang
ini sedang terjajah oleh dunia, atau orang yang memprioritaskan dunia daripada
akheratnya. Padahal akherat itu “Khairul Wa Abqo” lebih baik dan lebih abadi dan lebih kekal, dunia ini
hanyalah sementara belaka.
Begitu juga halnya dengan orang-orang yang kikir dan pelit dan tidak mau
mendermakan rizki dan karunia yang Allah berikan maka itulah orang-orang yang
terjajah dengan dunia. Jadi kita jangan sampai seperti itu terjajah oleh dunia,
menjadi orang yang kikir, tidak mau berinfak, tidak mau bersedekah lalu kita
tinggalkan dan mengorbankan agama hanya untuk mencari dunia. Maka orang-orang
semacam inilah bagian dari orang-orang yang terjajah oleh dunianya. Apalagi
dunia menjadi orientasi hidupnya.
Bukan berarti kita tidak boleh mencari dan menikmati kesenangan dunia,
tidak dilarang kita menikmati dan mencari kesenangan dunia. Justru Allah
menciptakan dunia ini untuk manusia tapi jangan sampai dunia yang kita kejar
lalu kita melupaka akherat. Dunia kita cari mati-matian dan akherat kita
sepelekan, padahal akherat inilah yang justru akan menjadi bekal kita dalam
kehidupan diakherat nanti. Seorang muslim yang baik adalah yang mengetahui
bahwa nilai akherat itu jauh lebih tinggi, lebih bernilai daripada dunia. Dunia
disisi Allah Subhana Wa Ta’ala adalah sangat rendah. Oleh karena itu sikapilah
dunia ini dengan ketaqwaan agar kita
tidak dikuasai oleh dunia. Tumbuhkan nilai-nilai ketaqwaan dalam diri kita sehingga kita mampu mengendalikan dunia,
jangan sebaliknya kita yang dikendalikan oleh dunia, yaitu orientasi hidup kita
untuk akherat harus jauh lebih besar daripada orientasi kepada dunia.
Oleh karena itu saat kita sedang sibuk lalu mendengar suata Adzan
dikumandangkan maka bergegaslah sekalipun banyak pekerjaan yang harus kita
selesaikan. Kalau bisa kita datang lima menit sebelum adzan berkumandang, dan
lebih baik lagi jika kita sekalian menjadi muadzinnya. Karena menjadi seorang
muadzin itu akan mendapatkan pahala yang begitu besar dari Allah SWT. Jadi jika masih ada orang yang mengorbankan
akherat untuk kepentingan dunia maka itulah orang-orang yang terjajah.
3. Membebaskan
manusia dari segala bentuk ketidak
adilan dan kedzholiman agama-agama atau ideologi-ideologi yang ada menuju pada
keadilan ideologi Islam dan agama Islam.
Artinya bahwa kita belumlah merdeka sebelum kita mendapatkan perlakuan
adil. Apalagi sebagai ummat Islam yang mayoritas, dan sudah berjuang dalam
memerdekakan negeri ini. Kalau kita tidak diperlakukan dengan adil, adanya
diskrimasi terhadap ummat Islam maka sesungguhnya kita ini belumlah merdeka,
ketidak adilan ini haruslah dilawan, ketidak adilan ini haruslah ditumbangkan,
kedzholiman ini harus ditumbangkan. Tidak boleh dibiarkan, tidak boleh kita
diperlakukan selamanya dengan tidak adil dan secara dzholim.
Disinilah perlunya kita membangun kebersamaan, karena dengan kebersamaan itulah maka
perjuangan untuk menegakan keadilan, menumbangkan kedzholiman itu lebih ringan.
Karena dengan kebersamaan itulah kita memiliki wakil rakyat dalam memperjuangkan
aspirasi sesuai dengan tuntunan Agama dan tidak melanggarnya. Insya Allah dengannya maka tanggung
jawab kita akan menjadi ringan karena ada wakil-wakil kita yang
memperjuangkan apa yang menjadi tugas
kita sebagai Ummat Islam.
Dalam membangun kebersamaan itu haruslah disiplin, harus komitmen, haruslah Iltizam,
Komitmen dalam sebuah kebersamaan tersebut, jangan kemudian kita mengalami inkonstinsi
dalam sebuah komunitas karena kita merasa tidak butuh dengannya. Karena merasa
bahwa pandangan-pandangan kita, pendapat-pendapat kita lebih benar dan lebih
bagus dari pada pandangan orang-orang kebanyakan dalam sebuah komunitas yang disampaikan secara kolektif.
Inilah
makna dari sebuah kemerdekaan, kemerdekaan itu adalah ketika memiliki kebebasan
dalam beribadah kepada Allah Subhana Wa Ta’ala, serta membebaskan dan
mengaktualisasikan penghambaan diri kita hanya kepada Allah Subhana Wa Ta’ala
termasuk dalam melaksanakan syariat-Nya dan hukum Allah, tidak ada rasa takut,
cemas dan khawatir dalam melaksanakan itu semua. Kedua adalah tidak
berorientasi kepada dunia sebagaimana kita mampu mengendalikan dunia dan dalam
sikap kita bukan dunia yang mengendalikan kita karena ada dalam hati kita.
Kita
juga merasa bahwa apa yang Allah berikan hanyalah sebuah titipan saja dan
kapanpun kita harus siap untuk mengembalikannya apakah dengan cara berzakat,
berinfak dan bersedekah atau melalui kontribusi dalam membela perjuangan
Palestina dengan memberikan bantuan kemanusiaan. Misalnya dengan menyerahkan
bantuan dalam program One Man One Ten Dollar. Maknanya
kita tidak mencintai dunia kita, harta kita melebih cinta kita kepada Allah.
Terakhir adalah makna kemerdekaan itu ketika kita diberlakukan secara adil
sebagai mayoritas ummat Islam dan juga sebagai ummat Islam yang sudah berjuang
dan banyak berkorban dan tidak ada lagi diskrimasi yang dilakukan terhadap
ummat Islam misalnya yang terjadi pada tokoh-tokoh ulama yang sudah berjuang. [TGA]
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih telah bersilaturahim di blog kami...