GANDENKU.COM | Indonesiaku - Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan
kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara
gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati
tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai
gelombang besar di hadapannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap
gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar
(Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun
1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan
suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh
massa yang mendengarkan, terdiri dari Parpol dan Ormas yang menyebut dirinya
revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa
pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar
Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu
tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang
itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah
tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan
Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh
Alim-Ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau
tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi Alim-Ulama itu,
publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah
mencaci maki Alim-Ulama kita.
Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran
sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya. Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita
siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan
Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957
di Palembang telah memutuskan bahwa :
- Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram
bagi umat Islam menganutnya.
- Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan
keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan
orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan
(tata-cara pengurusan) secara Islam.
- Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai
berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia),
Pemuda Rakyat dan lain-lain dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan
wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai
tersebut.
Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar
Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani
oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi
yang demikian itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh
Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral /kurangajar).
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, Alim-Ulama kita
yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis
phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua
yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses
pengadilan selama kurang lebih empat tahun. Dan banyak lagi Alim-Ulama yang
terpaksa menderita di balik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.
Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara
mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran
Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih
tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu,
bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu
berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom
dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang
kontra revolusi yang telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus
diperangi, dihina dalam setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang
ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai
orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran
Al-Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala
komunis.
Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat
Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah
mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang
dikatakan oleh Alim-Ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur
dalam kemenangan
Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai
komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut:
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau
mengembangkan paham atau ajaran Komunisme /Marxisme / Leninisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media
bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.
Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang
Alim-Ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para
Alim-Ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang
dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang
walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian
yang berat dari Tuhan.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur
dalam kemenangan.
Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri
bahwa mereka itu adalah ahli waris para Nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau
seperti yg dialami Nabi Ibrahim A.S. yang dipanggang dalam api unggun yang
besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya A.S. yang gugur karena digergaji
dan lain-lain Nabi utusan Allah.
Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu,
karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan
bahwa pelajaran ini dapat kita petik bukan dari menggali perbendaharaan
ulama-ulama lama, namun hanya dari peristiwa sejarah yang lalu.
Oleh : Buya Hamka
Cerita HAMKA ini dipublikasikan oleh Majalah Panji Mas dari
1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal. 319.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih telah bersilaturahim di blog kami...